Liburan Idul Fitri (Bu Dita)


Pagi yang sangat cerah, matahari dengan semangatnya menerangi bumi pertiwi kita dengan sangat terik. Ya! Apakah kalian ingat hari itu? Hari di mana kita dan sanak keluarga kita bangun pagi-pagi, bersiap-siap, membawa alat sholat dan tentunya dengan senyum pagi kita untuk pergi ke masjid. "Taqabbalallahu Minna Waminkum,Taqabbal Yaa Kariim," kalimat yang biasanya mengawali hari Lebaran kita untuk saling bermaaf-maafan dan mengawali diri kita yang kembali fitri. Masih ingatkah kalian hari itu? Lebaran bukan? Ya, aku akan menceritakan sedikit bagian dari Lebaranku tahun ini. Pukul 6.10 WIB, aku dan mamaku sudah siap berangkat ke masjid terdekat untuk menunaikan Sholat Aidul Fitri. Kami memutuskan untuk berjalan kaki saja. Kata mamaku, jalan di pagi hari itu sehat loh,teman. Ya aku percaya sajalah. Akhirnya aku dan mamaku sampai juga di masjid tujuan kami. Ternyata, Sholat Ied yang harusnya ditunaikan di masjid itu pindah lokasi! Mereka berkata, kalau Sholat Iednya di masjid, tidak akan memuat banyak jamaah yang berniat Sholat Ied di masjid itu. Masjid yang aku tujui termasuknya kecil, teman. Nggak kecil-kecil banget sih, ya sedanglah. Maka dari itu, agar para jamaah leluasa untuk beribadah Sholat Ied tahun ini nih, panitia mengganti lokasinya di lapangan tennis dekat masjid tersebut. Tentu saja tempatnya lebih luas, dong. Tetapi, karena tidak ada atapnya, panas matahari yang sedang memuai itu terasa sekali menyengat bagian kepala kita! Pagi itu memang agak berbeda dengan pagi-pagi yang lainnya. Lebih cerah dan lebih panas. Benar-benar seperti sudah pukul 10 siang. Apa ya yang menyebabkan pagi itu terasa sangat menyengat? Mungkin akibat ulah-ulah masyarakat Indonesia yang nakal untuk berbuat pemanasan global. Nah tidak tahunya, di lapangan yang tak beratap itu sudah banyak orang yang duduk-duduk dan menunggu jamaah lain untuk menggelar sajadahnya. Kalian tahu nggak sih, ibu-ibu yang kelihatannya sudah nggak tahan sama teriknya matahari pagi itu menggelar sajadahnya paling belakang lho. Memang, di bagian belakang ada beberapa pohon tinggi yang menghalangi panasnya matahari. Aku, mamaku dan beberapa tetanggaku yang melihat saf depan yang kosong, segera mengisinya! Alhamdulillah, kami dan jamaah-jamaah Sholat Ied di lapangan tennis itu menunaikan sholat dengan lancar. Walaupun panas sih. Tetapi kami tetap semangat tuh. Hari lebaran gitu,kan. Harus mengesankan dong! Dan hari yang mengesankan itu berasal dari pikiran kita yang positif. Tentunya kita harus berpikiran positif selalu. Setelah selesai menunaikan Sholat Ied dan bersungkeman dengan orang tua, aku, mama dan papa bersiap-siap berkunjung ke Pemalang. Kota di Jawa Tengah bagian utara itu adalah tanah kelahiran papaku. Disanalah beliau dilahirkan, tepatnya di sebuah desa yang masih asri dan akan kuceritakan nanti. Perjalanan kami sangaaaaat lama rasanya. Tentu sajalah, kami menempuhnya dengan sebuah mobil. Tapi aku berusaha menikmati perjalanannya lho. Kami menyempatkan untuk mampir ke beberapa kota. Diantaranya Cirebon, Tegal dan Slawi. Kami ke Cirebon untuk makan siang dengan hasil hewan laut segarnya loh, teman! Kalian tau kan, Cirebon itu kota udang. Aduhai bangeeet deh makanan-makanannya. Sangat menggoda nafsu kita untuk segera melahapnya…hehehe. Kemudian, kami melanjutkan perjalanannya ke Tegal. Di Tegal, mamaku membeli telur asin lho untuk tanteku di Pemalang. Setelah itu, di Slawi, lagi-lagi mamaku membeli tahu Slawi atau yang akrab disebut tahu Melet untuk tanteku! Hahaha! Kami sampai di Pemalang dengan banyak membawa makanan. Hmm, asyik sekali deh perasaan yang di oleh-olehin. Ya nggak, teman? Keesokkan harinya, mamaku sudah membangunkanku tepat pukul 5.00 pagi. Beliau mengatakan, kami sekeluarga-dan tante-tanteku akan berangkat ke Desa Warung Pring. Desa Warung Pring masih berada di kecamatan Pemalang. Nah, ini dia! Desa yang akan kuceritakan. Desa ini adalah tanah kelahiran papaku dan kakakku. Desa ini sangaaaat asri, untuk mencapainya saja kita harus melewati jalan yang berkelok-kelok dan diselingi hutan-hutan lebat. Waduh, jalannya sempit sekali lho. Kalau lagi berpapasan dengan mobil lain rasanya seram, takut kalau mau jatoh. Sesampainya aku dan keluarga di Warung Pring, kami langsung menuju tempat pemakaman kakek dan nenekku. Tempat pemakaman kakek dan nenekku agak berbeda lho dengan teman-teman kita yang di Tanah Kusir. Kalau makamnya kakek nenekku itu masih di pagar, kemudian nggak ada nisannya. Sebetulnya ada nisannya, namun nisan itu kosong dan nggak ada keterangan nama dan tanggal lahir di situ. Selesai kami beziarah, aku dan keluargaku melanjutkannya dengan silaturahmi ke beberapa rumah Pa'deku dan Budeku. Tepat pukul 13.00, kami sekeluarga akhirnya kembali lagi ke Jakarta. Aduh, rasanya belum puas nih tinggal di Pemalang. Waktunya singat sekali. 2 hari satu malam, dan sehari sesampainya di sana sudah malam. 3 Oktober 2008, aku sampai nih di Jakarta. Ya, masih hari lebaran ketiga. Jalanan belum macet karena belum bertepatan dengan arus balik. Hmm..aku sebenarnya balik lagi ke Jakarta hanya untuk siap-siap perjalanan 5 hari kami ke Yogyakarta. Oh iyaaaaa, tanggal 4 Oktober kami akan melanjutkan perjalanan kami ke Jogja lho! Dengan pesawat tapi, maka dari itu aku kembali lagi ke Jakarta untuk naik pesawat dari Jakarta. 4 Oktober 2008. pagi-pagi sekali aku sudah di bandara nih. Walah masih dingin sekali udaranya. Aku sampai bersin-bersin. Kemudian, kami mampir dulu di sebuah resto di bandara untuk sarapan. Setelah sampai pukul 7.15, aku akhirnya beranjak dari tempat makanku dan bersiap-siap untuk berangkat. Akhirnya…kami terbang juga. Pesawat sudah take-off. Perjalanan Jakarta-Jogja memang hanya sejam. Tapi, aku agak nggak bisa menikmati perjalanannya. Kalian tau mengapa? Ya, seperti adik-adik bayi kita, tiba-tiba telingaku sangaaaaaaaaat sakit. Sakit luar biasa. Mendekati tuli deh. Jika mamaku mengatakan sesuatu, aku tidak mendengar dan kalaupun terdengar-volumenya pasti sangat kecil. Padahal menurutku suara-suara di sekitar pesawat tidak terlalu bising lho. Namun aku merasakan tekanan udara yang amaaat beda. Ya mungkin kalau soal tekanan udara sih sudah pasti berbeda. Tetapi ini membuat tenggorokkanku sulit mengeluarkan kata dan hidungku tiba-tiba tersumbat. Waeahhh, nggak enak banget tuh posisiku pada saat itu. Harusnya aku ingin lihat awan-awan di balik jendela yang sedang menari-nari tuh, tapi untuk mendengar orang bicara aja nggak bisa. Tenggorokkan dan hidungku juga lagi nggak beres berfungsi,lagi. Akhirnya aku bersandar saja di bangkuku sepanjang perjalanan. Sampai pada akhirnya saat landing, kepalaku pening! Telingaku tiba-tiba bisa mendengar lagi lho teman,hahaha. Berarti betul kan ya, telingaku menunjukkan adaptasinya ketika berada di tekanan udara yang tinggi saat terbang. Tapi adaptasinya sulit banget, telingaku pakai tuli-tuli segala lagi. Tenggorokkanku juga rasanya kayak tersedak buah rambutan yang ada semut-semutnya. Gateeeeel banget.


Bandara Adisutcipto Yogyakarta. Yes! Aku sampai di kota Jogja. Hari-hariku selama di Jogja nggak begitu menyenangkan saat di rumah tanteku. Soalnya ada 2 sepupuku yang sangaaaat jahil kepadaku. Melewati batas deh. Sebal aku melihat ulah mereka. Setiap sesuatu yang aku kerjakan, pasti mereka berkomen dan kadang mengejekku. Padahal aku nggak jahat lho sama mereka, mereka saja yang sensitif. Seperti ketiak kita saja yang sensitif. Dasar anak-anak aneeeeh. Aku benar-benar keganggu deh sama mereka. Mereka udah kayak burung beo aja berkicau terus. Memang apa salahnya sih aku mencoba sesuatu yang menurut mereka biasa? Toh kalo mereka ke Jakarta terus heboh-heboh gitu melihat Monas, aku nggak akan ngeledek mereka tuh. Wlee. 3 hari terakhirku di Yogyakarta, aku memutuskan untuk jalan-jalan ke Solo! Ya, selain menjenguk tanteku yang lain di Solo. Kata mamaku, kalau ingin ke Malioboro atau Keraton ketika hari-hari pertama aku ke sana, tidak akan menemukan barang bagus deh. Soalnya orang yang sedang berlibur ke Jogja, lagi senang-senangnya menyerbu Malioboro. Mendadak Jogja jadi padat banget lho. Penat banget, banyak orang-orang dan kepala-kepala helm bermunculan di jalanan. Mereka sudah menyerupai cendol saja yang berdesak-desakkan. Oleh karena itu 3 hari terakhir sebelum kepulanganku ke Jakarta, aku mampir ke Solo. Di Solo sepi lho. Suasananya tenang, jalannya juga lebar-lebar. Tapi….panas sekali! Terik sekali rupanya matahari saat itu. Siang pukul 11.00 rasanya seperti pukul 12.00. Saking panasnya, mamaku bertanya kepada seorang tukang taksi yang waktu itu aku tumpangi, "Pak, Solo saat bulan puasa pernah hujan nggak Pak? Kok panas sekali yaa hari ini. Seperti nggak panas 5 tahun aja." Hahahahaha. Mamaku ada-ada saja.


Sesampainya di rumah tanteku, tentu saja aku bertemu lho dengan sodara-sodaraku! Ada Kak Haekal, Kak Heydar, Kak Nida, Kak Zaki, Tante Wawi dan Oom Ali. Kak Haekal yang baru lulus kuliah, kak Heydar yang bersekolah di Gontor kelas 2 SMA, kak Nida yang masih kelas 9 di SMP, dan Kak Zaki si sulung ya sudah bekerja. Mereka semua baik kepadaku. Terutama Kak Haekal. Pertama-tama sih, Kak Heydar dan Kak Nida itu diam-diam. Yaa,mungkin malu kali ya. Hahaha. Aku juga merasakannya kok. Tetapi setelah perjalanan kita ke Tawangmangu….semuanya berubah. Kami menjadi sangaaat akrab. Ternyata Kak Heydar itu doyan bicara lho, teman-teman. Ia menceritakan semuaaa pengalamannya di Gontor. Dia juga berkata, akan main ke Jakarta ketika Sekolah Gontor ada libur lagi. Oh iya, di Tawangmangu dingin sekali lho,teman. Disana betul-betuuul dingiiiiiiin banget. Di kaki gunung gitu kan, ya. Tentu saja dingin. Hmm, aku ke sana juga naik motor lho! Aduh, pantatku panas banget sesampainya di sana. Tepos, rasanya seperti di panggang. Perjalanan dari Solo ke Tawangmangu lumayan lama lho. Sekitar 2 jam lah. Aku yang jarang naik motor untuk waktu lama sudah langsung pegal-pegal gitu. Padahal baru setengah perjalanan. Hahaha.


Sepulangnya aku dari Solo, aku membeli oleh-oleh untuk keluargaku yang masih tinggal di rumah. Ya, dari Solo aku pulang dulu lho ke Jogja. Soalnya koper dan barang-barang bawaanku berada di Jogja semua. Mamaku membelikan bakpia aneka rasa, gudeg Jogja yang sangaaat legendaris itu dan kerupuk nasi. Tanggal 9 Oktober, aku kembali ke Jakarta. Perjalanan yang sama dan mengalami sindrom yang sama! Wah, liburan yang menyenangkaaaan!